Kenapa ya Film yang diangkat dari Novel tak sebagus Novelnya?

Source
Pernah nggak ngalamin yang kayak gini : kamu membeli sebuah novel yang terkenal, singkatnya, kamu suka banget dengan cara penulisnya menulis, suka ceritanya, dan suka gaya bahasanya. Saking cintanya, setiap ketemu orang kamu ngobrol tentang novel ini, setiap senggang kamu baca ulang novel ini, ada yang minjem novelnya nggak kamu kasih karena takut ilang.

Sampai suatu hari kamu ngeliat sebuah poster film untuk novel kesayangan kamu. Novel kesayangan kamu, diangkat menjadi sebuah film layar lebar! Otomatis, kamu pasti nonton kan? Udah beli tiket, bela-belain nonton sendirian dan menepis semua cibiran bahwa nonton sendirian di bioskop pasti jomblo ngenes.

Eh..

Keluar dari bioskop, muka kamu cemberut, lalu mencibir “Filmnya nggak sebagus yang ditulis di novel..”

Pernah ngalamin yang seperti ini? Sama aku jugak! Rasanya kesel banget, ada bagian yang hilang, diganti, pemainnya nggak miriplah, penggambaran di film yang kelewat lebay lah. Dan lain-lainnya. Novel yang diangkat menjadi layar lebar tak pernah benar-benar bisa memenuhi ekspektasi kita.

Kira-kira kenapa ya? Nah pada postingan ini aku coba jawab dari ilmu yang aku dapat.




Apple to pie apple.

Source

Kalau diibaratkan, Novel itu adalah Apel, dan Filmnya itu adalah Pie Apel. Keduanya adalah dua hal yang sangat berbeda, walaupun intinya sama. Sama-sama apel, dikunyah gimanapun rasanya tetap, rasa apel. Tapi tetap aja beda. Novel dan film punya spektrum yang beda. Novel terdiri atas ratusan halaman sedangkan Film terdiri atas gambar-gambar bergerak dan suara yang dirangkum paling lama 90-180 menit. Dari sini aja kita udah bisa bayangin, Novel yang ratusan lembar itu, yang dibaca aja mungkin bisa satu hingga dua hari, diringkas, dipress banget, hingga dua sampai tiga jam.

Sekarang bayangin pembuatan sebuah Pie apel. Nggak mungkin kan apel bulat-bulat gitu langsung dicemplungin ke oven, dan hwalaa! Jadi pie apel? Mustahal bin mustahil. Nggak semua hal pada apel bisa ambil untuk bisa jadi bahan baku pembuatan pie. Pertama, batangnya dibuang, kulitnya dikupas, pohonnya dibiarin. Dalam membuat pie apel, yang diambil dari apel hanya daging buahnya saja.
Sama seperti Novel to Film. Mereka hanya mengambil intisarinya saja. Tidak semua hal di novel diambil. Makanya, coba perhatiin deh poster film, pasti ada kata-kata “adaptasi dari..” atau “diangkat dari..”. ini menunjukan bahwa cerita film itu adalah intisari dari novel, bukan, reka adegan cerita didalam novel. Bayangkan jika setiap halaman dibikin reka adegannya? Mau nginep di dalam bioskop?

Perspektif

Menikmati sebuah novel tergantung dari tingkat imajinasi seseorang ketika membaca setiap baris tulisan. Misal gini, coba baca tulisan dibawah ini :

“….. Seorang laki-laki, berjalan cepat keluar gedung, membawa sebuah tas..”
Sekarang bayangin..

Udah?

Dari sepenggalan kalimat ini aja, imajinasi masing-masing dari kita udah pasti beda-beda. Mungkin kamu, iya kamu. Yang lagi baca blogku ini, bayangin si Laki-laki berkemeja keluar gedung dengan membawa tas postman yang diselempang dikanan. Mungkin ada yang ngebayangin si Laki-laki pakai tas ransel. Mungkin ada yang ngabayangin dia seorang backpacker, ada yang ngebayangin si Laki-laki itu anak SMA, ada yang ngebayangin si Laki-laki pegawai kantoran. Ada yang ngebayangin si Laki-laki terlihat berkeringat.

Bener?

Dari sepenggalan ini aja, ada jutaan kemungkinan imajinasi yang tergambar di kepala, lalu bagaimana jika ratusan lembar? Setiap kepala punya satu imajinasi tentang sebuah tulisan dan mungkin itu tak pernah persis sama.

Source
Ketika novel diangkat menjadi sebuah film, maka, disini ada penyempitan cara berimajinasi. Kita, pembaca setia dipaksa untuk ikut imajinasi dari si film-maker baik itu sutradaranya, penulis skenarionya, bahkan produsernya, yang pasti sengat berbeda dengan apa yang kita bayangkan walau memiliki inti yang sama.

Jadi intinya, mau berapa judul filmpun, kita akan selalu kecewa dong? Karena apa yang kita bayangin akan selalu berbeda dengan apa yang sutradara bayangin?

Nah ini masalah mindset kita aja. Dan marilah kita rubah. Jadi setiap kita berangkat ke bioskop untuk menonton film dari novel kesayangan kita, jangan membuat pertanyaan didalam hati seperti ini : “kira-kira sama nggak yah apa yang gue bayangin di novel SAMA kayak di film entar?” dan ubahlah menjadi : “menurut si sutradara gimana ya novel ini dia gambarinnya..?” dengan begitu, keluar dari bioskop kita nggak kecewa-kecewa banget.

Oke demikian post gue kali ini..

See you next!

*)ilmu pada postingan ini gue dapat dari Talkshow Raditya Dika pas di Malang

2 Comments

  1. Si Ady nggak konsisten nih. Di awal paragraf pake AKU, di akhir paragraf pake GUE.
    Pantes jomblo.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ini jahat. Iya sih, menurut gue juga gitu. Karena kalo dibuat mau yang persis sama ya pasti jadi turun (karena dipress sedemikian ketat).

      Hapus

Dikomen boleh. dipipisin yang jangan