Cerpen : Kembali

Source : MazeMag


Rasanya, seluruh lelah yang mengendong di punggung dan menutupi seluruh wajahnya menguap ke langit-langit saat Unie menyadari bahwa mobil travel yang dia tumpangi telah sampai. Dengan sigap kemudian tangannya menyikut ransel besar yang dia pangku selama perjalanan, ransel itu terlihat cukup besar namun masih sanggup untuk diangkat oleh wanita 23 tahun seperti Unie. Mungkin pekerjaannya sebagai Auditor yang setiap hari harus berangkat ke kantor dengan membawa tas berat berisi laptop berat tanpa sadar melatihnya menjadi wanita yang cukup kuat untuk hanya membawa sebuah ransel. 

Senyumnya lebar saat sesaat keluar dari mobil, dia menemukan sesosok wanita yang melambaikan tangannya dari dalam mobil lain yang menunggunya.

“aaakh! Unie! Kangen!” Dewi kegirangan saat melihat sahabatnya telah tiba. .Unie tersenyum lebar dan berjalan lebih cepat. Tak sabar rasanya memeluk sahabatnya yang menunggunya itu. Mereka berpelukan dan berteriak heboh. Wajar, sudah 1 tahun mereka tidak pernah bertemu sejak Unie pindah ke Jakarta untuk bekerja.

“Sibuk ye jadi auditor, nggak pernah pulang, parah” sindir Dewi.

“Duh Dewi, namanya juga kerja.. ini juga nyempetin ketemu. Kerja keras demi masa depan” Unie tertawa renyah, sembari memberi kode dengan menunjuk bagasi mobil”

 “Oh iya bagasinya belum dibuka.. aduh pe’a.” Dewi tergopoh mencari kunci mobil, lalu dengan sigap membuka pintu bagasi belakang. Unie merebahkan ranselnya, lalu Dewi menutupnya. Keduanya kemudian masuk ke dalam mobil bersamaan.

“Lama ya, Wi? Maaf ya, Pesawatnya delay 1 jam, akhirnya telat semua deh.” Kata Unie, tersenyum kecut, berusaha mencari posisi duduk ternyaman

“Nggak apa-apa keleus, ini aku juga tadi nungguin kamu sambal ngadem di Mall, jadi ya nggak kerasa.” Sahut Dewi seraya menyalakan mesin mobil

“kebiasaan.. masih doyan shopping, nggak berubah..!”

“Naluri cewek jeung!.. hihi”

Keduanya terkekeh. Mobil berjalan menyusuri jalan

By the way, sebelum aku antar ke rumah, kita makan dulu gimana, Nie? Lapar..” tawar Dewi. 

“Boleh-boleh, laper banget nih..” Unie mengiayakan, baru sadar sejak dari tadi pagi belum makan apa-apa. Pulang dari lembur--pukul 4 pagi-- langsung Unie gunakan untuk mengemasi barang-barangnya. Tak punya banyak waktu, karena dia harus mengejar pesawat pagi pukul 7.15. Rasanya untuk ingat sudah makan atau belum pun tak sempat, semua terasa terburu-buru mengejar hari.

“..Pelan, Wi” Unie menerawang jalan, mencoba mengingat-ingat. 

“Mau makan di Soto Pak Man, ya?” Dewi menerka

“Iyaa.. lama nggak makan di situ, kangen.” Jawab Unie.

Dewi mempercepat laju mobilnya, sudah yakin ke mana tujuan mereka

***

Semangkuk Soto dengan taburan koya gurih diatasnya terhidang. Mata Unie berbinar. Unie menyendok kuah soto tersebut pelan-pelan, takut lidahnya terbakar, sementara Dewi, mungkin lebih baik menunggu sebentar sampai soto di depannya berubah hangat karena asap yang mengepul dari mangkuknya itu sedikit menurunkan nyali untuk langsung memakannya.

“di Jakarta nggak dapat pacar, Nie?”

Unie tersedak mendengar pertanyaan Dewi.

“hehe, nggak tau Wi, aku terlalu sibuk kali ya.”

“sibuk apa sibuk? Bukannya di Jakarta harusnya banyak cowok-cowok cakep ya?” sindir Dewi, seraya memperhatikan perubahan dari penampilan Unie yang cantik dengan potongan rambut pendek sebahu, kacamata frameless yang menyatu dengan bentuk matanya yang sipit, somehow, jika dilihat dari samping Unie mirip dengan Najwa Sihab, versi chibi. “Masa iya cewek secantik kamu nggak ada cowok yang deketin?”

“lagi males pacaran kali ya, Wi. Aku pernah sih beberapa kali dekat dengan cowok, tapi ujung-ujungnya nggak cocok” Jawab Unie, matanya terpaku pada sendok yang dia pegang.

“Nggak cocok atau belum bisa ngelupain yang dulu? Hayoo?” Goda Dewi.

Senyum Unie memudar.

Sosok yang selama ini ingin Unie lupakan kembali lagi. Tian, lelaki yang pernah mengisi ruang kosong di  hatinya begitu lama. Mantan pacarnya, cinta pertamanya sejak SMA. Nyaris 5 tahun mereka lalui bersama. Keputusan Tian pindah ke kota lain untuk mengenyam pendidikan lanjutan memaksa mereka untuk pacaran jarak jauh. Awalnya mudah, namun makin ke sini komunikasi mereka semakin salah arah. Semua kemajuan teknologi memang tak pernah benar-benar bisa menggantikan sentuhan dan pertemuan. Sampai akhirnya, Tian memutuskan untuk berkemas dari hati Unie. Tian memilih untuk memutuskan hubungan mereka, bukan karena mereka berhenti saling mencintai, namun untuk saling menyakiti.

Tian tak pernah benar-benar pergi dari hati Unie, hingga sekarang. Orangnya memang sudah berkemas pergi. Tapi, di ruang hati Unie, kenangannya masih tertinggal. Kenangan yang begitu besar dan membuat orang lain mungkin tak punya ruang gerak ketika akan masuk. Unie memutuskan menutup hatinya rapat-rapat. Karena seberapa keras pun dia menerima orang baru, hatinya seolah menolak. Sehingga jawabannya pun selalu sama –nggak cocok-, padahal alasan utamanya adalah : tak ada ruang kosong lagi di hatinya selain kenangan indah bersama Tian

Unie menambahkan garam ke kuah sotonya. 

Seperti kuah soto yang ada didepannya, getir, tidak bergairah lagi. Sama seperti urusan cintanya. Setelah berhasil menempuh pendidikan s1 akuntansi, Unie memutuskan bekerja sebagai auditor junior di sebuah kantor akuntan publik swasta. Unie menimbang bahwa kesibukan sebagai auditor yang bekerja siang dan malam akan membuatnya sibuk, harapnya sederhana. Apakah dengan sibuk ini waktunya akan terbuang dari meringkuk di dalam kesepian memikirkan Tian? Sibuk akan memberikannya waktu dan jarak yang jauh dari Tian, memberinya cukup jarak untuk bernapas dari sesaknya sakit hati berpisah dari Tian, memberinya cukup pandang untuk benar-benar bisa melihat dengan jelas tanpa dihalangi oleh air mata. Waktu dan jarak yang akan membuka hatinya, memberi ruang kosong di dalam dadanya, menyingkap sebuah misteri yang belum terpecahkan di dalam kepalanya. Apakah rasa ini akan memudar, atau semakin beredar.

Sayangnya, rasa ini malah semakin menguat.

“ngomong-ngomong kenapa kamu suka dengan Soto di sini?” Dewi mengalihkan pembicaraan, dia sadar telah salah bicara.

“Soto di sini, hmm apa ya?” Jawab Unie sambil menikmati kuah soto yang masih terasa dilidahnya.

“Soto di sini rasanya nggak pernah berubah sejak aku masih kecil, masih enak, jadi pengin makan di sini terus” Unie antusias “bahkan, ya. Selama aku jalan-jalan ke beberapa kota, emang belum ada yang seenak di sini.” Unie membersihkan sisa soto di bibirnya dengan tissue “menurutku loh.. “ memberi penekanan.

Iya, masih sama. Seperti perasaanku pada Tian

“ngomong-ngomong, Tian apa kabarnya, ya?” Unie membuka keheningan.

“hmmm..” Dewi bingung harus berkomentar apa.

“misalnya nih. Aku nyari Tian lagi, kira-kira udah telat nggak ya, Wi?” Unie menoleh ke arah Dewi, sedikit menunduk, berusaha agar air matanya tidak tumpah. “kamu benar, sebenarnya aku belum bisa benar-benar move-on dari Tian. Kamu mau ngetawain aku kan?”

Dewi merangkul bahu Unie.

“Wajar kali Nie, kalian kan udah pacaran lama banget, terus putus. Aku pikir hal ini emang berat. Buat siapapun.”

“Menurut kamu?”

“ada hal yang baik untuk diusahakan, ada yang sepertinya harus ditinggalkan.”

“Tian termasuk yang mana?”

Dewi terjebak pada jawaban retoris. “jawabannya ada di kamu, Unie.” Dewi berusaha tersenyum agar teman baiknya itu ikut tersenyum.

Sedikit-demi-sedikit kilauan di mata Unie menghilang.

***

Mobil perlahan berhenti di depan kediaman orang tua Unie. Setelah berkemas dan memastikan tidak ada yang tertinggal, Unie berpamitan pada Dewi. 

Thanks udah jemput, Wi. Makasi juga buat sotonya.” Unie tersenyum setelah mengecup pipi sahabatnya.

“Besok malem kosong nggak? Kalo nggak aku jemput nih, dari pada bengong di rumah, kan?”

“liat keadaan deh, wi. Masih mau melepas kangen ama ibuk.”

“hihi, baiklaah..”

“..ngomong-ngomong, Wi.” Nafas Unie terbata. “bener kata kamu, ada yang harus di usahakan, ada yang tidak.”

Dewi terdiam, namun paham betul kemana arah pembicaraan ini bermuara. 

“aku akan mengejar apa yang aku dulu pernah tinggalkan. Aku ingin mengejar cinta Tian kembali seperti dulu. “

Dewi tersenyum “Nah gitu dooong! Semangat! Jangan galau terus. Aku selalu dukung kamu!” Ujar Dewi memberi semangat.

See you..” 

See you..”

Unie perlahan masuk ke dalam rumah, dari mulut pintu, Unie melihat mobil Dewi yang perlahan meninggalkan dirinya.

***

Dewi terdiam dan membiarkan suara sumbang penyiar radio memolusi ruang dengar di dalam mobilnya. Dia sadar betul ada banyak hal yang berubah di dunia ini, semua bergerak maju, kadang bersinggungan. Namun yang jarang orang lakukan adalah berputar arah dan kembali.

Dia sadar betul setelah minggu depan, semua akan berubah.

Sebenarnya ada secarik undangan yang harusnya dia berikan kepada Unie saat bertemu tadi di dalam tasnya. Spesial untuk sahabatnya. 

Dewi sangat mengenal Unie, sangat mengenal. mereka sudah menjadi sahabat sejak duduk di kelas 2 SMP. dan Dewi sangat tau betapa mencintainya Unie kepada Tian. sayangnya, undangan itu adalah hari bahagia yang akan menghancurkan Unie.

Dewi hanya ingin semua bisa bergerak maju tanpa saling bersinggungan. seperti, dia ingin menjadi Tian sebagai suaminya kelak dan masih Unie masih bisa menjadi sahabat baiknya. Saat Tian begitu hancur saat sadar hubungannya dengan Unie berakhir, saat itulah Dewi masuk dan berusaha menjahit luka yang Unie tinggalkan pada Tian. dari situ, cinta pun tumbuh.

Sayangnya, semua pasti akan bergerak maju, sementara tak ada akan pernah ada ruang yang cukup buat masing-masing dari mereka untuk berputar.

untuk kembali seperti dulu.


3 Comments

  1. Endingnya loohhh 😂😂😂

    BalasHapus
  2. Lumayanlah, bang. oh ya bang. cek email abang deh..

    BalasHapus
  3. Kalo kejadian beneran pasti rasanya.... wkwk. kunjungi balik Hidup Cerdas

    BalasHapus

Dikomen boleh. dipipisin yang jangan