Estuaria: Seharusnya Kami Bisa Mengalir

Sumber

Hari ini Edinburgh sedang dingin-dinginnya. Rasanya aku hanya ingin bergumul di kasur, menarik selimut, dan menikmati cokelat panas tanpa gula. Sayangnya ada banyak barang yang harus aku kemas saat ini karena besok pagi-pagi sekali aku sudah harus berangkat ke bandara untuk kembali ke Indonesia. Mataku mengudara mengamati setiap jengkal losmen kecil tempat aku tinggali sekarang ini, seraya mencari apakah ada sesuatu yang tertinggal. Sudut demi sudutnya mengukirkan kenangan di dalam kepalaku. Lima tahun yang kuhabiskan di Skotland untuk bekerja sambil kuliah tentu bukan waktu yang sebentar. Hari ini adalah hari terakhirku berada di negara ini. Dua koper yang telah ku-packing dan kuletakan dipojok kamar ini beratnya tidak seberapa dibandingkan dengan beratnya langkahku untuk beranjak dari sini. Well, mataku sedikit berkaca sekarang.

“Apakah kamu telah selesai?” Kata Harry, yang tiba-tiba menengok ke kamarku.

“Sedikit lagi, bro. Ada beberapa dokumen dan buku-buku yang harus aku susun di dalam kardus yang akan aku kirim ke Jakarta” Jawabku

“Bagaimana kamu berhenti sejenak, sekarang sudah waktunya makan siang. Aku ingat kamu belum makan apa-apa sejak semalam sampai sekarang. Ayolah. Kemarin aku menemukan penjual pizza baru beberapa blok dekat sini.”

Ajakan Harry menarik. Aku tidak bisa berbohong kalau perutku juga sedang lapar saat ini. Aku bergegas merapikan beberapa buku yang aku pegang, mengambil dompet dan handphone yang berada di atas meja.

“Jangan sampai tidak enak, ya. Aku menyesal menerima ajakanmu saat di Glasgow. Hotdog isi brokoli itu menjijikan.” Kataku bergurau.

Harry tertawa. “Itu cuma prank. Waktu itu aku memang bekerja sama dengan penjualnya untuk mengerjaimu. Tenang, kali ini pizza rekomendasiku pasti cocok dengan lidah Indonesiamu. Penjualnya adalah orang Turki. Aku yakin dia satu kepercayaan denganmu. Jadi tidak akan menjadi masalah, benar?”

Aku tersenyum lebar dan mengacungkan jempol tanda setuju. “mantap” kataku.

“Oh iya, jangan lupa kenakan sweater, sarung tangan  dan mantel yang cukup tebal. Kaus merah dan celana jeansmu tidak akan mampu menahan dinginnya.” Kata Harry seraya memeragakan orang yang sedang menggigil. “Dinginnya menusuk hingga ke tulang”.

Setelah aku selesai mengenakan pakaian anti-dingin. Kami pun beranjak dari losmen menuju ke penjual pizza yang direkomendasikan Harry.

***

“Kamu berjalan cepat sekali! Pizza-nya belum tutup, ini masih sangat siang” keluhku melihat Harry yang sudah jauh. Langkahnya panjang sekali. Glaswegian sepertinya dianugrahi oleh Tuhan kaki-kaki yang kuat dan panjang.

“Aku sudah sangat lapar! Indonesian lambat” ejek Harry.

“Dasar Scotty tidak sabaran.” Aku berlari mengejarnya. Setelah kami sejajar. Aku menepuk pundaknya. Kami pun tertawa.

Harry adalah sahabatku selama di Skotlandia. Dia perantau juga sama seperti diriku. Orang Glasgow. Sedangkan aku orang Jawa. Kami sama-sama menimba ilmu di Edinburgh. Teman satu kosan, sama-sama mahasiswa dengan kantong pas-pasan. Kami pernah sama-sama bekerja untuk sebuah restoran cepat saji sebagai pramuniaga demi menyambung uang bulanan, dikejar petugas karena mengamen tanpa izin di taman kota. Dia orang yang menyenangkan dan loyal.

“Bima! Kamu melamun apa? Kita sudah sampai.” Harry menepuk pundakku dan menyadarkan bahwa kami sudah sampai.

“Tempatnya agak tertutup, ya. Aku hampir tidak bisa mengenalinya dari jauh”

“Tempat ini baru, Bro. Mereka bahkan belum memasang palang nama.”

Kami masuk ke restoran kecil ini. Aku mengira tempat yang akan kami tuju adalah penjual pizza foodtruck. Ternyata ini  adalah restoran pizza kecil yang lumayan fancy. Cukup moderen dan nyaman. Aku tidak sadar ada tempat seperti ini padahal jaraknya hanya beberapa dari losmen kami. Harry memilih tempat duduk di ujung yang dekat dengan penghangat ruangan. Kami duduk, melepas mantel, dan seorang pelayan datang menanyakan pesanan.

“Aku pesan meat satu” Harry menunjuk sesuatu di daftar menu, lalu bertanya ke padaku “kamu pesan apa, Bima?”

“Aku chicken, dengan esktra keju.” Jawabku

“Ekstra keju? Waw!” Harry terkejut. “Aku yakin Ammie akan marah besar kalau tau kamu makan itu. Ada banyak hal yang berubah, ya? Sejak kalian putus”.

Aku tersenyum getir. “Iya, Harry. Banyak hal telah berubah.”

***

“Jangan ulangi lagi. Jangan pernah membuatku khawatir” Ammie terisak merangkulku, dan tangisnya pecah saat melihat memar di wajahku.

“Aku tidak apa-apa, sayang. Kamu bisa lihat sendiri. Laki-laki memang ditakdirkan untuk menjadi kuat!” Aku memerlihatkan wajah sumringah seraya menahan sakit di sekujur tubuh.

“Kuat dan bodoh itu dua hal yang berbeda, bung!” Sambung Harry yang sedang menurunkan dua buah keril dari pundaknya. Hari itu kami baru sampai ke Edinburgh setelah perjalan panjang.

“Apa yang terjadi di Nith? Ya Tuhan, kenapa Bima bisa terluka di mana-mana seperti ini?” Ammie terlihat geram dan sedih di saat bersamaan, bibirnya mengulum, dan matanya berkaca. Aku yakin dia khawatir.

“Bima terperosok saat berusaha mengambil sampel. Kepalanya terbentur. Sudah aku peringatkan untuk berhati-hari karena bebatuan di sana licin. Bima tidak mengindahkan”

Ammie membimbingku ke kasur. Lalu membuka beberapa bungkusan yang dia persiapkan dari rumahnya dan dia bawa ke losmen kami.

“Bodoh” gumam Ammie seraya menyapukan alkohol untuk membersihkan luka-lukaku.

“Aku butuh sampel itu untuk aku bawa ke Lab. Itu kan tujuan tim ekspedisi kami ke esturaria?” Kataku jengkel. “Auch!. Pelan-pelan sayang.”

Ammie malah menekan lukaku lebih dalam dengan kapas. “Ini akibatnya karena kamu bertindak semberono. Aku mendapat kabar dari teman-temanmu yang lain kamu meninggalkan tim dan tidak mengindahkan peraturan!” Ammie berhenti menyapu lukaku dan mengelap air matanya.
Selesai merekatkan perban dan membersihkan peralatan p3k. Ammie membuka ranselnya dan mengeluarkan box makan siang dan menyajikannya di meja samping tempat tidurku. “Dari rumah aku membuatkanmu sup. Aku yakin kamu belum makan, kan?” Kata Ammie sambil mengambil sendok dari kantong tasnya dan mengelapnya dengan tissue.

“Lah? Aku tidak dibawakan makanan juga, Ammie?” gerutu Harry.

“Kamu makan roti sisa bekal kita tadi saja. Ini sup spesial untukku.” Ejekku.

“Ya, ya. Sup dengan cinta” Ejek Harry kembali. “Roti ini terasa hambar jika dimakan di depan couple yang sedang kasmaran.” Ujar Harry dengan muka yang tidak ikhlas.

“Makanya, kamu sudah harus mencari pacar, Harry” Ejek Ammie.

“Itu akan mudah seandainya aku setampan dan secerdas Bima.” Gerutu Harry.

“Mungkin kamu harus banyak browsing di Internet dengan keyword: bagaimana cara meluluhkan hati seorang wanita” Ejekku.

“Mendapatkan hati seorang wanita adalah bakat lahir seorang scotty. Tapi sepertinya ayahku tidak menurunkannya ke padaku.” Jawab Harry.

Kami pun tertawa lepas. Harry meninggalkan kami berdua untuk ke kamar mandi.  Sementara Ammie masih menyuapkan sup ke padaku.

Dari sudut ini, aku bisa melihat Ammie dari dekat. Selama ini aku pikir warna matanya adalah biru, namun ternyata biru kehijau-hijauan. Ammie mengikat rambut merahnya ke belakang dan menyisakan sedikit poni di depan. Ammie sering mengeluh ketika masih kecil, dia selalu diejek teman-temannya dengan sebutan “ginger girl” karena rambutnya yang merah itu. Aku tebak setelah ini dia akan pergi ke kampus dengan melihat kemeja planel biru yang membalut kulit putihnya dan beberapa buku perpustakaan yang mengintip dari celah-celah resleting ranselnya.

Aku suka dengan cara Ammie tersenyum. Bibirnya tipis dan kecil, yang sering berubah cemberut karena aku sering mengejeknya untuk tidak menyentuhkan karena aku akan keracunan saat dia memakai baju berwarna hijau yang membuatnya terlihat seperti Poison Eve. Pendiam dan kutu buku. Aku bertemu dengannya di perpustakaan kota saat aku tidak sengaja mengambil buku yang sama pada rak yang sama. Aku berinisiatif menghampirinya yang sedang duduk sendiri, mengajak dia untuk ngobrol, dan ternyata dia anaknya ramai tidak seperti apa yang terlihat dari luar. Kami memutuskan untuk pindah ke coffee shop terdekat karena pengunjung perpusatakaan lain tidak suka dengan obrolan kami yang terlalu nyaring dan mengganggu konsentrasi mereka. Sejak saat itu. Kami menjadi dekat dan berpacaran.

“Apa yang sedang kamu pikirkan?” Ammie menyadarkan aku dari lamunan.

“Tidak ada. Aku terkesima melihat kamu hari ini. Kamu cantik”

“gombal” Ammie mencubit lenganku lalu tersipu. “kereta terakhir akan masuk! Buka mulutmu” ujar Ammie menyodorkan sendokan terakhir sup yang dia pegang. “setelah ini kamu mandi, lalu berdoa ke pada Tuhan. Sudah waktunya, kan?”

“Jam berapa sekarang? Oh, iya. Waktunya sholat”

“iya maksudku itu. Aku lupa apa namanya” Ammie merapikan sisa-sisa berantakan di atas meja. Aku bangkit dari kasur.

“Ayahmu tau kamu ke sini?” tanyaku

“Kamu tau ayahku akan membunuhku jika putrinya menjalin hubungan spesial dengan seorang muslim.” Ammie diam sejenak, lalu menoleh ke padaku. “apakah kita akan ada di masa depan?” tanyanya, membuang nafas.

“Aku tidak tahu rencana Tuhan nantinya.” Kataku.

“Seandainya Tuhan kita sama.” Jawab Ammie. Hening panjang terjadi di antara kami berdua. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk kembali melihat wajahnya. Begitu juga Ammie ke padaku. Ammie membereskan barang-barangnya lalu pamit untuk pergi.

“Aku ada kelas satu jam lagi, kabari aku selepas malam” Ammie mengecup pipiku. Aku mengiringnya ke luar dari pintu.

“Aku mencintaimu” kataku melepas Ammie pergi. Ammie hanya tersenyum kecil. “Aku juga.” Jawabnya getir dan berjalan meninggalkanku. Entah mengapa, hari itu dadaku sesak melihat dia melangkah jauh. Firasatku berkata dia seperti tidak akan kembali.

***

“Jika kamu tidak sanggup menghabiskannya, biar aku saja yang memakannya” Harry mengambil satu dari tiga pieces pizza yang tidak sanggup aku habiskan.

“Ekstra keju membuat pizza ini eneg untuk dimakan” keluhku atas pizza yang sudah datang. “seharusnya aku memesannya dengan keju ukuran normal”

“Aku ingat sekali Ammie ngomel karena kamu memesan makanan dengan keju yang banyak.” Ujar Harry sambil tertawa.

“Hidupmu seperti berantakan setelah putus dari Ammie.” Terka Harry melihat penampakanku sekarang yang gondrong dan lusuh.

“Ammie sangat mengaturku, tanpa dia aku berantakan”

“Untungnya kuliahmu tidak, ya?”

“Untungnya” jawabku menghela nafas panjang.

“Apakah kamu sudah berusaha menghubunginya?” Tanya Harry

“Bagaimana bisa? Ayahnya memblokir semua akunku. Satu-satunya kontak yang aku terima dari email dari akun yang berbeda, itu pun sudah setahun yang lalu.”

“Putus karena orang tua itu naif sekali. Aku masih heran ini masih terjadi di tahun-tahun sekarang.” Kata Harry seraya menyelesaikan suapan terakhirnya. “Masa laki-laki tidak berusaha?”

“Sudah. Aku berusaha agar kami tidak berpisah. Namun Ammie adalah anak yang taat ke pada ayahnya dan dia seorang rohaniwati yang taat.”

“Aku tidak habis pikir manusia bisa sebegitu candu pada agama. Aku tidak bisa berkomentar. Karena aku tidak percaya Tuhan. Tapi aku menghargai kalian dengan apa yang kalian percayai” sambung Harry.

“Terima kasih, Harry.”

“Aku sebenarnya sudah menghubungi Ammie dan memberitahukan bahwa kamu akan pergi besok.” Harry menunjukan sebuah percakapan email dari handphonenya. Aku meraihnya cepat dan membacanya satu persatu.

“Kamu melakukan ini untukku, Harry?” Aku terkesima. “Terima kasih Harry, kamu adalah teman terbaikku.”

“kamu bisa menelponnya dari situ. Silahkan” tawar Harry.

“Benarkah?” aku lalu mencari nomor handphone di dalam email itu dan menelpon salah satu nomor yang ada di sana.

--tut—

“Hallo, Ammie?”

“Hallo? Bima? Aku dengar kamu akan pergi dari Skotland. Aku sedang menuju ke losmenmu. Aku sudah izin ayah dan dia memberikannya. Aku berjanji pada Ayah ini yang terakhir aku bertemu denganmu.” Jawab Ammie. Nafasnya tertahan.

Aku menarik lengan Harry untuk kembali ke losmen sekarang juga. Kami berjalan cepat.
“Wow! Wow! Aku tidak menyangka Indonesian bisa berlari seperti kamu”

“Glaswegian lambat!” gerutuku

Harry cekikan melihatku berjalan terburu-buru. Hari ini kita impas

***

 Ada banyak hal yang aku terkagum. Pertama, tentunya Ammie. Wanita skotlandia berambut merahku, dan yang kedua. Kenapa ada dua jenis air di dunia ini, air laut yang asin, dan air sungai yang tawar. Saat kecil aku sering bertanya mengapa hal itu bisa terjadi? Aku mendapatkan jawabannya ketika melakukan ekspedisi ke sungai Nith setahun silam. Jawabannya adalah daerah estuari. Tempat pertemuan air laut dan air sungai. Habitat paling aktif di jagat raya.

“Aku tidak menyangka ada tempat sehijau ini di eropa” Ammie sumringah melihat foto-foto hasil jepretanku selama ekspedisi ke sungai nith yang aku tunjukan ke padanya.

“Aku berharap aku bisa mengajakmu ke sana. Namun kawasan itu tertutup, harus ada izin akademik agar bisa masuk.”

“Mungkin kita harus membuat surat palsu” Ammie bergurau.

“Aku bisa dideportasi jika ketahuan melakukan itu” Jawabku sambil tertawa.

“Selesaikan kuliah kita. Lalu kita keliling dunia, iya?” Kata Ammie yang sedang di dalam rangkulanku.

“Masukan itu di dalam resolusi kita di masa depan!”Kataku yakin. Ammie tersenyum lebar.
Ammie menulis sebuah kalimat resolusi pada selembar sticky note dan menempelkan di dinding ruang tengah losmenku. Kami sering melakukan ini selama beberapa bulan terakhir sehingga dindingku penuh dengan tempelan-tempelan sticky note. Resolusi untuk menyelesaikan tugas akhir, membeli apartemen di london, atau membeli sebuah mobil sport. Sayangnya tidak ada satupun resolusi yang berhasil kami capai selain pergi melihat London Eye itu pun karena dapat tiket promo dari Edinburgh ke Manchester, selanjutnya kami menumpang kereta ekonomi menuju London.

Resolusi itu akhirnya pupus bersamaan dengan hubungan kami. Beberapa bulan setelah itu, Ayah Ammie mendatangiku di kampus. Masih ingat di kepalaku. Wajahnya geram. Ayahnya yang merupakan seorang pendeta kirks mencariku di Kampus berbekal foto yang di-upload oleh Ammie ke social media dan menyadari bahwa aku adalah Indonesian muslim dari informasi yang aku unggah dari social media milikku. Ayah Ammie mengintograsi satu persatu akademik kampus dan berhasil menemukanku saat aku selesai bertemu dengan promotor disertasiku di lobby kampus.

“Jika kamu muslim yang taat, sudah seharusnya kamu sadar kamu dan kami berbeda. Tinggalkan putriku sebelum terlambat. Aku memintamu baik-baik jika kamu tidak bisa sama dengan kami”
Aku memutuskan untuk berhenti menghubungi Ammie untuk menghormati ayahnya, dan tentu saja keputusan itu dinilai semena-mena bagi Ammie. Ammie menyalahkan aku karena aku tidak bisa berbuat apa-apa.

“Naif” kata terakhirnya yang dia ucapkan sebelum dia pergi. Aku bisa merasakan rasa kecewa yang besar dari cara dia melihatku untuk terakhir kalinya. Nafasnya terbata. Dadanya sesak.

“Ini karena Tuhan kita berbeda, bukan?” ucapnya getir tanpa melihatku.

“Tuhan kita sama, cara kita melihatnya yang berbeda” jawabku.

“Tapi kamu mencintaiku, bukan?”

Aku tidak menjawab. Ammie terdiam menunggu jawaban. Aku hanya menunduk dan memalingkan wajah. Air matanya pecah. Dan Ammie pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun. Sampai akhirnya satu tahun lebih berlalu dia muncul di hadapanku sekarang.

Ammie duduk di sofa losmenku sementara aku membuatkan cokelat panas untuknya. Aku teringat tahun lalu kami menghabiskan malam natal bersama di sofa itu berselimut menikmati cokelat untuk menangkal dinginnya cuaca pada saat itu sambil menonton film-film lama yang kami sewa dari rental film. Salju yang turun dan terlihat dari jendela membuat suasana menjadi putih. Ammie terlelap di dalam rangkulanku saat aku sadar hari telah fajar. Sekarang, di sofa yang sama. Ammie duduk di depan koper-koper dan kardus yang aku persiapkan untuk pergi. Aku merasakan perasaan yang sama dengannya saat ini, perasaan kehilangan. Ammie menyambut cokelat yang sudah aku buatkan.

“Kamu akan berangkat besok?” tanyanya getir.

“Iya, pesawatku besok pagi.” Jawabku.

Ammie tersenyum kecil. Tipikal eccedentesiast, selalu berusaha menyembunyikan kesedihannya dari balik senyum palsu.

“Sepertinya satu resolusi harus kita hapus, tidak mencari estuari, tidak keliling dunia bersama.” Ammie membuka pembicaraan.

“Setiap orang punya alternatif kehidupannya masing-masing. Kita hidup di dalamnya.” Jawabku. “Kamu masih sakit hati ke padaku?”

“Waktu akan menyembuhkannya. Selepas dari skotland, selalu jaga diri, ya.” Ujar Ammie dan menyeruput cokelat panas buatanku.

Selepas itu kami berbincang-bincang. Saling menceritakan kehidupan kami masing-masing setelah setahun berlalu. Kami tertawa. Dan benar, waktu sepertinya sudah menyembuhkan kami berdua.
Aku adalah air sungai dan Ammie adalah air laut. Banyak hal yang membuat kami berbeda. Aku tidak bisa menyalahkan apapun. Tidak masuk akal jika aku menyalahkan Tuhan atas perbedaan ini. Aku selalu berharap aku bisa mengalir dan menemukan estuari di mana Ammie berada. Aku sangat ingin dia menjadi bagian dari diriku sayangnya sungaiku ditakdirkan bermuara di tempat yang berbeda.

Malam mulai larut. Ammie berkemas untuk pergi.

“Jika kamu kembali ke Skotland, kabari aku. Kita masih bisa berteman.” Ammie menyodorkan kartu berisikan kontak dan alamat email. “Ngomong-ngomong Harry mana?”

“Harry pergi ke club seperti biasa” ujarku, berbohong. Harry kusogok untuk tidur di resto cepat saji dan aku harus membayar beberapa ponds.

“Selamat berjuang untuk mimpi-mimpimu selanjutnya” kata Ammie.

“Kamu juga.”

Ammie mengecup pipiku. “Temukan estuaria lain untukku”

Aku tersenyum, dan untuk terakhir kalinya aku melihatnya pergi. Sesak di dada itu hilang. Seandainya estuaria itu tidak ada, dan kami adalah air sungai yang sama.

Seharusnya kami bisa mengalir.
..

0 Comment "Estuaria: Seharusnya Kami Bisa Mengalir"

Posting Komentar

Dikomen boleh. dipipisin yang jangan